Jumat, 17 Januari 2014

DISOLUSI OBAT

LABORATORIUM FARMASEUTIKA
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA


LAPORAN PRAKTIKUM
DISOLUSI
OLEH :
                          NAMA            : DIANA SYAM MULIADI
                          NIM                 : 150 2012 0131
                          KELOMPOK : I
                          KELAS          : 3.4
                          ASISTEN      : SYAMSURI SYAKRI S.Farm.,M.Si, Apt


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
M A K A S S A R
2013
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk  sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif sangat penting artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut  ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh.
Dalam dunia kefarmasian para apoteker dan pakar-pakar kimia senantiasa merancang sediaan obat supaya mampu menrancang terobosan baru dalam menciptakan suati produk yang  berkualitas, baik dari segi kesetabilan obat maupun efek yang ditimbulkan. Sudah sepantasnya. Sebagai seorang  farmasis  kita harus selalu menggali informasi terkini mengenai teknologi obat dari berbagai segi.
Disini yang paling ditekankan yaitu pada preformulasi.Preformulasi merupakan metode perancangan suatu riset dalam rangka menyusun konsep baru yang nantinya harusmampu menghasilkan suatu maha karya yang bernilai.Dibutuhkan kearifan dan kecerdasan yang mumpuni dalam menyusun preformulasi suatu sediaan. Terutama dalam mengenal monografi,spesifikasi mencakup sifat-sifat suatu zat dan reaksi yang mungkin terjadi apabila bercampur dengan zat lain saat dikombinasikan.
Diantara semua sifat dan reaksi yang penting untuk kita ketahui bersama yang paling kami soroti disini yaitu mengenai Disolusi suatu zat.Dimana ini merupakan suatu tahapan yang yang sangat berperan penting dalam menentukan hasil suatu efek obat dalam tubuh Manusia.Laju disolusi atau kecepatan melarut obat-obat yang relatif tidak larut dalam air telah lama menjadi masalah pada industri farmasi. Obat-obat tersebut umumnya mengalami proses disolusi yang lambat demikian pula laju absorpsinya. Dalam hal ini partikel obat terlarut akan diabsorpsi pada laju rendah atau bahkan tidak diabsorpsi seluruhnya. Dengan demikian absorpsi obat tersebut menjadi tidak sempurna.
Suatu bahan obat yang diberikan dengan cara apapun dia harus memiliki daya larut dalam air untuk kemanjuran terapeutiknya. Senyawa-senyawa yang relatif tidak dapat dilarutkan mungkin memperlihatkan absorpsi yang tidak sempurna, atau tidak menentu sehingga menghasilkan respon terapeutik yang minimum.Daya larut yang ditingkatkan dari senyawa-senyawa ini mungkin dicapai dengan menyiapkan lebih banyak turunan yang larut, seperti garam dan ester dengan teknik seperti mikronisasi obat atau kompleksasi.
Laju disolusi atau kecepatan melarut obat-obat yang relatif tidak larut dalam air telah lama menjadi masalah pada industri farmasi. Obat-obat tersebut umumnya mengalami proses disolusi yang lambat demikian pula laju absorpsinya. Dalam hal ini partikel obat terlarut akan diabsorpsi pada laju rendah atau bahkan tidak diabsorpsi seluruhnya. Dengan demikian absorpsi obat tersebut menjadi tidak sempurna. Oleh karena itu pengetahuan mengenai disolusi dirasa sangat penting dalam pembuatan sediaan obat.

I.2 Tujuan Percobaan

Adapun tujuan dari percobaan ini adalah :
1.    Menentukan kecepatan disolusi suatu zat
2.    Menggunakan alat penentuan kecepatan disolusi suatu zat
3.    Menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat













BAB  II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Teori Umum

Disolusi didefinisikan sebagai suatu proses melarutnya zat kimia atau senyawa obat dari sediaan padat ke dalam suatu medium tertentu. Uji disolusi berguna untuk mengertahui seberapa banyak obat yang melarut dalam medium asam atau basa (lambung dan usus halus) (Ansel, 1989).
Kecepatan disolusi adalah suatu ukuran yang menyatakan banyaknya suatu zat terlarut dalam pelarut tertentu setiap satuan waktu. Suatu hubungan yang umum menggambarkan proses disolusi zat padat telah dikembangkan oleh Noyes dan Whitney dalam bentuk persamaan berikut (Astuti,2008)  :
dM.dt-1         :           kecepatan disolusi
D                  :           koefisien difusi
S                  :          luas permukaan zat
Cs                :           kelarutan zat padat
C                  :           konsentrasi zat dalam larutan pada waktu
H                  :           tebal lapisan difusi
Dalam teori disolusi atau perpindahan massa, diasumsikan bahwa selama proses disolusi berlangsung pada permukaan padatan terbentuk suatu lapisan difusi air atau lapisan tipis cairan yang stagnan dengan ketebalan h. Bila konsentrasi zat terlarut di dalam larutan (C) jauh lebih kecil daripada kelarutan zat tersebut (Cs) sehingga dapat diabaikan, maka harga (Cs-C) dianggap sama dengan Cs. Jadi, persamaan kecepatan disolusi dapat disederhanakan menjadi
          
Faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat, yaitu:
1.    Suhu
Meningginya suhu umumnya memperbesar kelarutan (Cs) suatu zat yang bersifat endotermik serta memperbesar harga koefisien difusi zat. Menurut Einstein, koefisien difusi dapat dinyatakan melalui persamaan berikut (Astuti,2008) :
                    D =
Keterangan :
                 D         :           koefisien difusi
                 r           :           jari-jari molekul
                 k          :           konstanta Boltzman
ή          :           viskosita pelarut
T          :           suhu
2.  Viskositas
Turunnya viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan disolusi suatu zat sesuai dengan persamaan Einstein. Meningginya suhu juga menurunkan viskositas dan memperbesar kecepatan disolusi (Astuti,2008).
3. pH Pelarut
pH pelarut sangat berpengaruh terhadap kelarutan zat-zat yang bersifat asam atau basa lemah.
Untuk asam lemah
Jika (H+) kecil atau pH besar maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan demikian, kecepatan disolusi zat juga meningkat.
Untuk basa lemah
Jika (H+) besar atau pH kecil maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan demikian, kecepatan disolusi juga meningkat (Astuti,2008).

4. Pengadukan
Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi tebal lapisan difusi (h). jika pengadukan berlangsung cepat, maka tebal lapisan difusi akan cepat berkurang (Astuti,2008).
5. Ukuran Partikel
Jika partikel zat berukuran kecil maka luas permukaan efektif menjadi besar sehingga kecepatan disolusi meningkat (Astuti,2008).
6.  Polimorfisme
Kelarutan suatu zat dipengaruhi pula oleh adanya polimorfisme.Struktur internal zat yang berlainan dapat memberikan tingkat kelarutan yang berbeda juga. Kristal meta stabil umumnya lebih mudah larut daripada bentuk stabilnya, sehingga kecepatan disolusinya besar (Astuti,2008).
7. Sifat Permukaan Zat
Pada umumnya zat-zat yang digunakan sebagai bahan obat bersifat hidrofob. Dengan adanya surfaktan di dalam pelarut, tegangan permukaan antar partikel zat dengan pelarut akan menurun sehingga zat mudah terbasahi dan kecepatan disolusinya bertambah (Astuti,2008).
Efektivitas dari suatu tablet dalam melepas obatnya untuk absorpsi sistemik agaknya bergantung pada laju disintegrasi dari bentuk sediaan dan deagregasi dari granul-granul tersebut. Tetapi yang biasanya lebih penting adalah laju disolusi dari obat padat tersebut. Seringkali disolusi merupakan tahapan yang membatasi atau tahap yang mengontrol laju bioabsorpsi obat-obat yang mempunyai kelarutan rendah, karena tahapan ini seringkali merupakan tahapan yang paling lambat dari berbagai tahapan yang ada dalam penglepasan obat dari bentuk sediaannya dan perjalanannya ke dalam sirkulasi sistemik (Martin,2008).
Untuk memulai setiap analisis ukuran partikel harus diambil dari umunya jumlah bahan besar (ditandai dengan junlah dasar) suatu contoh yang Supaya partikel padat terdisolusi maka molekul solut pertama-tama harus memisahkan diri dari permukaan padat, kemudian bergerak menjauhi permukaan memasuki pelarut. Tergantung pada kedua proses ini dan bagaimana cara proses transpor berlangsung maka perilaku disolusi dapat digambarkan secara fisika. Dari segi kecepatan disolusi yang terlibat dalam zat murni, ada tiga dasar model fisika yang umum, yaitu:
a.  Model lapisan difusi (diffusion layer model).
Model ini pertama kali diusulkan oleh Nerst dan Brunner. Pada permukaan padat terdapat satu lapis tipis cairan dengan ketebalan ℓ , merupakan komponen kecepatan negatif dengan arah yang berlawanan dengan permukaan padat. Reaksi pada permukaan padat-cair berlangsung cepat. Begitu model solut melewati antar muka “liquid film – bulk film”, pencampuran secara cepat akan terjadi dan gradien konsentrasi akan hilang. Karena itu kecepatan disolusi ditentukan oleh difusi gerakan Brown dari molekul dalam liguid film.
b.  Model barrier antar muka (interfacial barrier model).
Model ini menggambarkan reaksi yang terjadi pada permukaan padat dan dalam hal ini terjadi difusi sepanjang lapisan tipis cairan.Sebagai hasilnya, tidak dianggap adanya kesetimbangan padatan-larutan, dan hal ini harus dijadikan pegangan dalam membahas model ini. Proses pada antar muka padat-cair sekarang menjadi pembatas kecepatan ditinjau dari proses transpor. Transpor yang relatif cepat terjadi secara difusi melewati lapisan tipis statis (stagnant).
c.  Model Dankwert (Dankwert model).
Model ini beranggapan bahwa transpor solut menjauhi permukaan padat terjadi melalui cara paket makroskopik pelarut mencapai antar muka padat-cair karena terjadi pusaran difusi secara acak.

 Tahap- tahap disintegrasi deagregasi dan disolusi ketika obat meningggalkan suati tablet atau matrik granularrepresentatif. Karenanya suatu pemisahan bahan awal dihindari oleh karena dari suatu pemisahan, contoh yang diambil berupa bahan halus atau bahan kasar. Untuk pembagian contoh pada jumlah awal dari 10-1000 g digunakan apa yang disebut Pembagi Contoh piring berputar. Pada jumlah dasar yang amat besar harus ditarik beberapa contoh dimana tempat pengambilan contoh sebaiknya dipilih menurut program acak (Voigt, 1994).
Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukan ke dalam beaker glass yang berisi air atau dimasukan ke dalam saluran cerna (Saluran gastrointestinal), obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk padanya. Kalau tablet tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padat juga mengalami diistegrasi menjadi granul-granul, dan granul-grabuk mengalami pemecahan menjadi partikel halus. Diintegrasi, deagregrasi dan disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan melepasnya suatu obat di tempat obat tersebut diberikan (Martin, 2008).
Pemikiran dilakukannya uji hancurnya tablet didasarkan pada kenyataan bahwa tablet itu pecah menjadi partikel-partikel kecil, sehingga daerah permukaan media pelarut menjadi lebih luas, dan akan berhubungan dengan tersedianya obat di dalam cairan tubuh. Namun sebenarnya uji hancur hanya menyatakan waktu yang diperlukan tablet untuk hancur di bawah kondisi yang ditetapkan, dan lewatnya seluruh partikel melalui saringan berukuran mesh-10. Uji ini tidak memberi jaminan  bahwa partikel-partikel itu akan melepaskan bahan obat dalam larutan dengan kecepatan yang seharusnya. Itu sebabnya uji disolusi dan ketentuan uji dikembangkan bagi hampir seluruh produk tablet.Laju absorbsi dari obat-obat bersifat asam yang diabsorbsi dengan mudah dalam saluran pencernaan sering ditetapkan dengan laju larut obat dari tablet. Bila yang menjadi tujuan adalah untuk memperoleh kadar yang tinggi dalam darah, maka cepatnya obat dan tablet melarut biasanya menjadi sangat menentukan. Karena itu laju larut dapat berhubungan langsung dengan efikasi (kemanjuran) dari tablet dan perbedaan bioavailabilitas dari berbagai formula (Lachman, 1994).

II.2  Uraian Bahan
1.            Air suling ( Dirtjen POM, 1979 ; 96 )
Nama resmi                   :  AQUA DESTILLATA
Nama lain                      :  Air suling, aquadest
Rumus molekul            :  H2O
Berat molekul                : 18,02
Pemerian                     :  Cairan jernih, tidak berwarna, tidakberbau,tidak mempunyai rasa.
Penyimpanan               :  Dalam wadah tertutup baik
Kegunaan                     :  Sebagai pelarut
2.            Asam Salisilat ( Dirtjen POM, 1979 ; 56 )
Nama resmi                 :  ACIDUM SALICYLICUM
Nama lain                    :  asam salisilat
Rumus molekul          :  C7H6O3
Berat molekul              :  138,12
Pemerian                    :  hablur ringan tidak berwarna atau serbuk berwarna putih, rasa agak manis, tajam
Kelarutan                    :  Larut dalam 550 bagian air dan dalam 4 bagian etanol (95%) P. Mudah larut dalam kloroform dan eter.
Berat setara                  : 1 ml natrium hidroksida 0,5 N setara dengan 69,06 mg C7H6O3
Rumus bangun          :          
Persyaratan kadar      Mengandung tidak kurang dari 99,5 % C7H6O3
            Penyimpanan             :  Dalam wadah tertutup rapat
            Kegunaan                    :  sebagai sampel
3.            Paracetamol  ( Dirtjen POM, 1979 ; 37 )
Nama resmi                 :  ACETAMINOPHENUM
Nama lain                    :  Paracetamol
Berat molekul              :  151,16
Rumus molekul          :  C8H9NO2
Rumus struktur           :
Pemerian                      :  Hablur atau Serbuk hablur putih  , tidak berbau, dan rasa pahit
Kelarutan                     :  Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol (95 %) P, dalam 13 bagian aseton P, dalam 40 bagian gliserol P dan dalam 9 bagian propilenglikol.
Penyimpanan              : Dalam wadah tertutup rapat dan terlindung dari cahaya.
Kegunaan                    : Sebagai sampel
4.            Polisorbat 80 (Dirtjen POM, 1979: 509)
Nama resmi                 : Polysorbatum 80
Nama lain                    : Polisorbat 80, tween
Pemerian                      :  Cairan kental, transparan, tidak berwarna,hampir tidak mempunyai rasa.
Kelarutan                     : Mudah larut dalam air, dalam etanol (95%)P, dalam etil asetat P dan dalam methanol P,sukar larut dalam parafin cair P dan dalam  biji kapas P
Kegunaan                    : Sebagai surfaktan
5.          Natrium hidroksida (Dirtjen POM, 1979: 412)
Nama resmi                  :  Natrii Hidroxydum
Nama lain                     :  Natrium hidroksida
Rumus molekul           : NaOH
Berat molekul              :  40,00
Pemerian                      :  Bentuk batang, butiran, massa hablur atau keping, kering, keras, rapuh dan menunjukan susunan hablur; putih, mudah meleleh basah, Sangat alkalis dan korosif, Segera menyerap karbondioksida.
Kelarutan                     :  Sangat mudah larut dalam air dan etanol (95%) P
Kegunaan                    :  Zat Tambahan
II.3 ProsedurKerja (Anonim, 2013)
a.    Pengaruh suhu terhadap kecepatan disolusi zat
·      Isilah bejana dengan 900 ml
·      Pasang thermostat padasuhu 300C
·      Jika suhu air di dalam bejana sudah mencapai suhu 300C, masukkan 2 g asam salisilat dan hidupkan motor penggerak pada kecepatan 50 rpm
·      Ambil sebanyak 20 ml air dari bejana setiap selang waktu 1, 5, 10, 15, 20, 25 dan 30 menit setelah pengadukan. Setiap selesai pengambilan sampel, segera digantikan dengan 20 ml air.
·      Tentukan kadar asam salisilat terlarut dari setiap sampe dengan cara titrasi asam-basa menggunakan NaOH 0,05 N dan indocato rfenolftalein. Lakukan koreksi perhitungan kadar yang diperoleh setiap waktu terhadap pengenceran yang dilakukan karena penggantian larutan dengan air suling.
·      Lakukan percobaan yang sama untuk suhu  400C dan suhu 50 0 C.
·      Tabelkan hasil yang diperoleh
·      Buat kurva antara konsentrasi asam salisilat yang diperoleh dengan waktu untuk setiap satuan waktu (dalamsatugrafik)
b.    Pengaruh kecepatan pengadukan terhadap kecepatan disolusi zat
·      Isilah bejanadengan  900 ml
·      Pasang thermostat padasuhu 300C
·      Jikasuhu air di dalam bejana sudah mencapai suhu 300C, masukkan 2 gram asam salisilat dan hidupkan motor penggerak pada kecepatan 50 rpm.
·      Ambil sebanyak 20 ml air dari bejana setiap selang waktu 1, 5, 10, 15, 20, 25, dan 30 menit setelah pengadukan. Setiap selesai pengambilan sampel, segera gantikan dengan 20 ml air.
·      Tentukan kadar asam salisilat terlarut dari setiap sampel dengan cara titrasi asam-basa menggunakan NaOH 0,05 N dan indicator fenolftalein. Lakukan koreksi perhitungan kadar yang diperoleh setiap waktu terhadap pengenceran yang dilakukan karena penggantian larutan dengan air suling.
·      Lakukan percobaan yang sama untuk kecepatan 100 dan 150 rpm.
·      Tabelkan hasil yang diperoleh.
·      Buat kurva antara konsentrasi asam salisilat yang diperoleh dengan waktu untuk setiap satuan waktu (dalam satu grafik).
c.    Penentuan parameter disolusi tablet parasetamol (prosedur lengkap lihat farmakope indonesia IV)

 




































BAB III
METODE KERJA
III.1 Alat dan Bahan
  Alat 
Adapun alat yang digunakan yaitu alat uji disolusi, gelas kimia 20 ml, 50 ml, dan 250 ml, labu takar 10 ml dan 25 ml, spektrofotmetri (metode dayung), vial.
Bahan
Adapun bahan yang digunakan yaitu air steril, aluminium foil, aquadest, etiket, kuvetdisposible, serbuk paracetamol 10 mg, tablet paracetamol 500 mg, tissu.
III.2  Langkah kerja
a.    Pembuatan kurva baku
1.    Disiapkan alat dan bahan
2.    Ditimbang serbuk paracetamol 10 mg
3.    Dilarutkan dalam 250 ml air steril
4.    Dipipet 5 ml lalu dimasukkan kekuvet dan diukur menggunakan spektrofotometri pada ppm 2, 4, 6, 8, dan 10
5.    Dicatat absorbannya dan dibuat dalam tabel
b.    Pengukuran absorban paracetamol
1.    Disiapkan alat dan bahan
2.    Disiapkan alat uji disolusi dan dimasukkan 900 ml air steril pada medium dan diuji dengan metode dayung
3.    Dimasukkan tablet paracetamol kedalam medium
4.    Dilakukan pengadukan dengan kecepatan 50 rpm, tiap 5 menit dipipet 5 ml absorban menggunakan spoit 5 ml. Bersamaan dengan diambil 5 ml dimasukkanl agi 5 ml air steril ke dalam medium hingga menit ke 30
5.    Dipindahkan absorban kedalam masing-masing vial dan ditutup dengan aluminium foil
6.    Diukur nilai absorban paracetamol menggunakan spektrofotometri
7.    Dicatat hasilnya dan dibuat dalam tabel













BAB IV
HASIL PENGAMATAN
IV.1 Tabel Hasil Pengamatan
Kurva Baku
ppm
Absorban
2
0.018
4
0.032
6
0.039
8
0.043
10
0.047
a.    Tabel pembuatan Kurva baku


















b.    Tabel disolusi paracetamol 500 mg
Waktu
Beratobat
Beratobat
Beratobat
Bobotobat
%kadarobat
%kadarobat
(menit)
(mg)
(mg)
(mg)
rata"
900 ml
900 ml
0
500
500
500
500
55.55555556
55.55555556
5
500
500
500
500
55.55555556
55.55555556
10
500
500
500
500
55.55555556
55.55555556
15
500
500
500
500
55.55555556
55.55555556
20
500
500
500
500
55.55555556
55.55555556
25
500
500
500
500
55.55555556
55.55555556
30
500
500
500
500
55.55555556
55.55555556

%kadarobat
Kadar
Absorban
Absorban
Absorban
Absorban
a
900 ml
Rata"
(y)
(y)
(y)
Rata"
1
2
3
55.55555556
55.55555556
0.022
0.024
0.023
0.023
0.0151
55.55555556
55.55555556
0.024
0.024
0.028
0.02533333
0.0151
55.55555556
55.55555556
0.027
0.027
0.031
0.02833333
0.0151
55.55555556
55.55555556
0.032
0.034
0.034
0.03333333
0.0151
55.55555556
55.55555556
0.037
0.039
0.032
0.036
0.0151
55.55555556
55.55555556
0.039
0.033
0.033
0.035
0.0151
55.55555556
55.55555556
0.037
0.034
0.029
0.03333333
0.0151

B
Obatdalam
Obatdalam
Obatdalam
Rata"
Obatdalam
Obatdalam
5ml (ppm)
5ml (ppm)
5ml (ppm)
ppm
5 ml (mg)
5 ml (mg)
(x1)
(x1)
(x1)
(x2)
(x2)
0.00345
2
2.57971014
2.28985507
2.28985507
0.01
0.01289855
0.00345
2.57971014
2.57971014
3.73913043
2.96618357
0.01289855
0.01289855
0.00345
3.44927536
3.44927536
4.60869565
3.83574879
0.01724638
0.01724638
0.00345
4.89855072
5.47826087
5.47826087
5.28502415
0.02449275
0.0273913
0.00345
6.34782609
6.92753623
4.89855072
6.05797101
0.03173913
0.03463768
0.00345
6.92753623
5.1884058
5.1884058
5.76811594
0.03463768
0.02594203
0.00345
6.34782609
5.47826087
4.02898551
5.28502415
0.03173913
0.0273913

Obatdalam
Rata"
%obat yang
%obat yang
%obat yang
Rata"
Faktor
5 ml (mg)
(ppm)
terdisolusi
terdisolusi
terdisolusi
Koreksi
(x2)
0.01144928
0.01144928
0.2
0.257971014
0.228985507
0.228985507
0
0.01869565
0.01483092
0.257971014
0.257971014
0.373913043
0.296618357
0.00111111
0.02304348
0.01917874
0.344927536
0.344927536
0.460869565
0.383574879
0.00254428
0.0273913
0.02642512
0.489855072
0.547826087
0.547826087
0.528502415
0.00446055
0.02449275
0.03028986
0.634782609
0.692753623
0.489855072
0.605797101
0.00718196
0.02594203
0.02884058
0.692753623
0.51884058
0.51884058
0.576811594
0.01070853
0.02014493
0.02642512
0.634782609
0.547826087
0.402898551
0.528502415
0.01455717



Faktor
Faktor
Rata"
%kadar
%kadar
%kadar
Rata"
Koreksi
Koreksi
terkoreksi
terkoreksi
terkoreksi
0
0
0
0.2
0.25797101
0.22898551
0.22898551
0.00143317
0.00127214
0.00127214
0.25908213
0.25940419
0.37518519
0.2978905
0.00286634
0.00334944
0.00292002
0.34747182
0.34779388
0.464219
0.3864949
0.00478261
0.00590982
0.00505099
0.49431562
0.5526087
0.55373591
0.53355341
0.00782609
0.0089533
0.00798712
0.64196457
0.70057971
0.49880837
0.61378422
0.01167472
0.01167472
0.01135266
0.70346216
0.5305153
0.5305153
0.58816425
0.01455717
0.01455717
0.01455717
0.64933977
0.56238325
0.41745572
0.54305958

%disolusi
%disolusi
%disolusi
Disolusi
obat
obat
Obat
Rata"
0.36
0.46434783
0.41217391
0.41217391
0.46634783
0.46692754
0.67533333
0.5362029
0.62544928
0.62602899
0.8355942
0.69569082
0.88976812
0.99469565
0.99672464
0.96039614
1.15553623
1.26104348
0.89785507
1.10481159
1.26623188
0.95492754
0.95492754
1.05869565
1.16881159
1.01228986
0.75142029
0.97750725

Perhitungan
a.    Pembuatan Kurva baku
ppm =
untuk, 1 ppm =
           2 ppm =
           4 ppm =
           6 ppm =
           8 ppm =
         10 ppm =
E Jadi, untuk penentuan absorban kurva baku untuk 1 ppm dipipet 0,1 ml, 2 ppm 0,2 ml, 4 ppm 0,4 ml, 6 ppm 0,6 ml, 8 ppm 0,8 ml, dan 10 ppm dipipet 1ml.
b.    Kecepatan disolusi paracetamol
1.    % paracetamol dalam 900 ml
=
= %
= 55,56 %
2.    Obat dalam 5 ml (ppm)
Untuk 0 menit :
                              =  = 2

Untuk 5 menit :
                              =  = 2,5797
Untuk 10 menit :
                              =  = 3,4492
Untuk 15 menit :
                              =  = 4,8985
Untuk 20 menit :
                              =  = 6,3478
Untuk 25 menit :
                              =  = 6,9275
Untuk 30 menit :
                              =  = 6,3478
3.    Obatdalam 5 ml (mg)
Untuk 0 menit :
                   =  x 5 = 0,01mg

Untuk 5 menit :
                    =  x 5 = 0,0128 mg
Untuk 10 menit :
                    =  x 5 = 0,0172 mg   

Untuk 15 menit :
                    =  x 5 = 0,0244 mg
Untuk 20 menit :
             =  x 5 = 0,0317 mg
Untuk 25 menit :
             =  x 5 = 0,0346 mg
Untuk 30 menit :
                   =  x 5 = 0,0317 mg

4.    %obat yang terdisolusi
Untuk 0 menit :
                   =  x 100 = 0,2 mg
Untuk 5 menit :
                     =  x100 = 0,256 mg
Untuk 10 menit :
                    =  x 100 = 0,344mg   
     Untuk 15 menit :
                   =  x 100 = 0,488 mg

Untuk 20 menit :
                   =  x 100 = 0,634 mg
Untuk 25 menit :
                        =  x 100 = 0,692 mg
Untuk 30 menit :
                       =  x 100 = 0,634 mg
5.    Faktorkoreksi
Untuk 0 menit :
           =
Untuk 5 menit :
           =
 0,2 + 0 = 0,0011
Untuk 10 menit :
           =
             ) 0,2579 + 0,0011 = 0,0025 
     Untuk 15 menit :
          =
 0,3449 + 0,0025 = 0,0044
Untuk 20 menit :
         =
 0,4898 +0,0044 = 0,0071
Untuk 25 menit :
             =
 0,6347 + 0,0071 = 0,0106
Untuk 30 menit :
             =
 0,6927 + 0,0106 = 0,0144
6.    % Kadar terdisolusi
Untuk 0 menit :
        =  = 0,2 %
Untuk 5 menit :
       =  = 0,259 %
Untuk 10 menit :
       =  = 0,3474 %   
     Untuk 15 menit :
      =  = 0,4942 %   
Untuk 20 menit :
      =  = 0,6418%   
Untuk 25 menit :
           =  = 0,7034 %   
Untuk 30 menit :
          =  = 0,6418 %  

7.    % disolusiobat
Untuk 0 menit :
                   =  x 100 = 0,36 %
Untuk 5 menit :
                     =  x 100 = 0,466 %
Untuk 10 menit :
                    =  x 100 = 0,6252 %
Untuk 15 menit :
                   =  x 100 = 0,8896 %
Untuk 20 menit :
                   =  x 100 = 1,1553 %
Untuk 25 menit :
                   =  x 100 = 1,266 %
     Untuk 30 menit :
                  =  x 100 = 1,1686 %
c.    Koefisien laju Disolusi paracetamol
K = b x 2,303
   = 0,00345 x 2,303
   = 7,9 x 10-3 mg/menit


IV.3 Pembahasan
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk  sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif sangat penting artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut  ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh.
Suatu bahan obat yang diberikan dengan cara apapun dia harus memiliki daya larut dalam air untuk kemanjuran terapeutiknya. Senyawa-senyawa yang relatif tidak dapat dilarutkan mungkin memperlihatkan absorpsi yang tidak sempurna, atau tidak menentu sehingga menghasilkan respon terapeutik yang minimum. Daya larut yang ditingkatkan dari senyawa-senyawa ini mungkin dicapai dengan menyiapkan lebih banyak turunan yang larut, seperti garam dan ester dengan teknik seperti mikronisasi obat atau kompleksasi.
Sifat-sifat kimia, fisika, bentuk obat dan juga fisiologis dari sistem biologis mempengaruhi kecepatan absorbsi suatu obat dalm tubuh.Oleh karena itu konsentrasi obat, bagaimana kelarutannya dalam air, ukuran molekulnya, pKa dan ikatan proteinnya adalah faktor-faktor kimia dan fisika yang harus dipahami untuk mendesain suatu sediaan.Hal ini meliputi faktor difusi dan disolusi obat.
Pada saat suatu sediaan obat masuk ke dalam tubuh, selanjutnya terjadi proses absorbsi ke dalam sirkulasi darah dan akan didistribusikan ke seluruh cairan dan jaringan tubuh. Apabila zat aktif pada sediaan obat tersebut memiliki pelarut yang cepat, berarti efek yang ditimbulkan juga akan semakin cepat, begitu juga sebaliknya.
Adapun aplikasi dalam bidang farmasi yaitu seorang farmasis akan dapat mengetahui efek yang akan ditimbulkan pada obat tersebut. Sehingga penggunaan optimal obat dapat tercapai. Preformulasi yang bik tentunya harus mengetahui sediaan yang baik dan benar, dengan mengetahui laju disolusi suatu obat kita dapat mengontrol waktu disolusi suatu obat sehingga dapat tercipta suatu sediaan yang bermutu.
Pada praktikum kali ini ditentukan tetapan disolusi dari tablet paracetamol 500 mg dalam media air suling, dimana besarnya tetapan tersebut menunjukkan cepat lambatnya disolusi atau kelarutan dari tablet paracetamol tersebut. Di sini digunakan air suling sebagai media disolusi karena air merupakan cairan penyususn utama  dalam tubuh manusia, jadi diumpamakan obat berdisolusi di dalam tubuh. Selain itu juga karena paracetamol kelarutannya dalam air sangat baik. Dilakukan pemanasan yang dipertahankan pada suhu 37°C, disesuaikan dengan suhu fisiologi tubuh manusia yaitu 37°C-38°C.
Saat larutan diambil, pada bagian yang sama dari cairan, yaitu tepat di samping keranjang sampel, sebab pada bagian tersebut zat aktif langsung keluar dari keranjang dan dapat dipipet dengan tepat. Pemipetan yang dilakukan pada tempat yang berbeda dapat mengakibatkan perbedaan kadar zat aktif yang sangat besar. Dilakukan tiga kali agar hasil yang diperoleh dapat dibandingkan.
Pada waktu yang berbeda-beda dilakukan pemipetan untuk melihat kapan paracetamol akan terdisolusi dengan optimal pada media pelarut. Dari hasil yang diperoleh, dapat dijelaskan bahwa mula-mula paracetamol akan terdisolusi dengan lambat dan lama kelamaan akan bertambah cepat. Setelah terdisolusi sempurna zat aktif akan diabsorbsi, dimetabolisme, dan kemudian akan memberikan efek terapi jika obat berada dalam tubuh.
Hasil yang diperoleh pada percobaan untuk data kurva baku pada 2 Rpm absorbannya 0,018, 4 Rpm absorbannya 0,032, 6 Rpm absorbannya 0,039, 8 Rpm absorbannya 0,043 dan untuk 10 Rpm absorbannya 0,047. Konstanta laju disolusi paracetamol yaitu 7,9 x 10-3 mg/menit. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin banyak waktu yang dibutuhkan oleh suatu obat untuk berdisolusi maka semakin tinggi pula konsentrasi (Kadar) zat tersebut dalam cairan (media pelarut).






BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan pada praktikum kali ini yaitu :
1. Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut. Disolusi didefinisikan sebagai suatu proses melarutnya zat kimia atau seyawa obat dari sediaan padat kedalam suatu medium tertentu.
     2.Untuk hasil praktikum kali ini diperoleh nilai k = 7,9 x 10-3 mg/menit.
V.2 Saran
        Sebaiknya praktikan lebih teliti dalam melakukan percobaan guna mengurangi kesalahan yang terjadi.










DAFTAR PUSTAKA
Anonim.2013.Penuntun Praktikum Farmasi Fisika.Makassar : Universitas Muslim Indonesia.
Ansel,HC. 1985. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta : UI Press.
Dirjen,POM. Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta : DepKes RI.
Dirjen, POM. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta : DepKes RI
Lachman,L dkk. 1986. Teori Praktek dan Farmasi Industri. Jarkata : UI Press.
Martin, A.1990.Farmasi Fisika.Buku II. Jakarta : UI Press.
Moechtar.1990. Farmasi Fisika. Yogyakarta: UGM Press.
Voigt, R.1994. Buku Pelajaran teknologi Farmasi.Edisi V. Cetakan I. Yogyakarta: UGM Press.
Wiroatmojo.1988. Kimia Fisika . Jakarta: Depdikbut.