LABORATORIUM FARMASEUTIKA
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
LAPORAN PRAKTIKUM
DISOLUSI
OLEH
:
NAMA : DIANA SYAM MULIADI
NIM : 150 2012 0131
KELOMPOK : I
KELAS : 3.4
ASISTEN : SYAMSURI
SYAKRI S.Farm.,M.Si, Apt
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
M A K A S S A R
2013
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Disolusi obat adalah suatu proses
pelarutan senyawa aktif dari bentuk
sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif sangat
penting artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan
zat tersebut melarut ke dalam media
pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh.
Dalam
dunia kefarmasian para apoteker dan pakar-pakar kimia senantiasa merancang
sediaan obat supaya mampu menrancang terobosan baru dalam menciptakan suati
produk yang berkualitas, baik dari segi
kesetabilan obat maupun efek yang ditimbulkan. Sudah sepantasnya. Sebagai
seorang farmasis kita harus selalu menggali informasi terkini
mengenai teknologi obat dari berbagai segi.
Disini
yang paling ditekankan yaitu pada preformulasi.Preformulasi merupakan metode
perancangan suatu riset dalam rangka menyusun konsep baru yang nantinya
harusmampu menghasilkan suatu maha karya yang bernilai.Dibutuhkan kearifan dan
kecerdasan yang mumpuni dalam menyusun preformulasi suatu sediaan. Terutama
dalam mengenal monografi,spesifikasi mencakup sifat-sifat suatu zat dan reaksi
yang mungkin terjadi apabila bercampur dengan zat lain saat dikombinasikan.
Diantara
semua sifat dan reaksi yang penting untuk kita ketahui bersama yang paling kami
soroti disini yaitu mengenai Disolusi suatu zat.Dimana ini merupakan suatu
tahapan yang yang sangat berperan penting dalam menentukan hasil suatu efek
obat dalam tubuh Manusia.Laju disolusi atau kecepatan melarut obat-obat yang
relatif tidak larut dalam air telah lama menjadi masalah pada industri farmasi.
Obat-obat tersebut umumnya mengalami proses disolusi yang lambat demikian pula
laju absorpsinya. Dalam hal ini partikel obat terlarut akan diabsorpsi pada
laju rendah atau bahkan tidak diabsorpsi seluruhnya. Dengan demikian absorpsi
obat tersebut menjadi tidak sempurna.
Suatu bahan obat yang diberikan dengan
cara apapun dia harus memiliki daya larut dalam air untuk kemanjuran
terapeutiknya. Senyawa-senyawa yang relatif tidak dapat dilarutkan mungkin
memperlihatkan absorpsi yang tidak sempurna, atau tidak menentu sehingga
menghasilkan respon terapeutik yang minimum.Daya larut yang ditingkatkan dari
senyawa-senyawa ini mungkin dicapai dengan menyiapkan lebih banyak turunan yang
larut, seperti garam dan ester dengan teknik seperti mikronisasi obat atau
kompleksasi.
Laju
disolusi atau kecepatan melarut obat-obat yang relatif tidak larut dalam air
telah lama menjadi masalah pada industri farmasi. Obat-obat tersebut umumnya
mengalami proses disolusi yang lambat demikian pula laju absorpsinya. Dalam hal
ini partikel obat terlarut akan diabsorpsi pada laju rendah atau bahkan tidak
diabsorpsi seluruhnya. Dengan demikian absorpsi obat tersebut menjadi tidak sempurna. Oleh
karena itu pengetahuan mengenai disolusi dirasa sangat penting dalam pembuatan
sediaan obat.
I.2 Tujuan Percobaan
Adapun tujuan
dari percobaan ini adalah :
1. Menentukan
kecepatan disolusi suatu zat
2. Menggunakan
alat penentuan kecepatan disolusi suatu zat
3. Menerangkan
faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Teori Umum
Disolusi didefinisikan sebagai suatu
proses melarutnya zat kimia atau senyawa obat dari sediaan padat ke dalam suatu
medium tertentu. Uji disolusi berguna untuk mengertahui seberapa banyak obat
yang melarut dalam medium asam atau basa (lambung dan usus halus) (Ansel,
1989).
Kecepatan
disolusi adalah suatu ukuran yang menyatakan banyaknya suatu zat terlarut dalam
pelarut tertentu setiap satuan waktu. Suatu hubungan yang umum menggambarkan
proses disolusi zat padat telah dikembangkan oleh Noyes dan Whitney dalam
bentuk persamaan berikut (Astuti,2008) :
dM.dt-1 : kecepatan
disolusi
D : koefisien
difusi
S : luas permukaan zat
Cs : kelarutan
zat padat
C : konsentrasi
zat dalam larutan pada waktu
H : tebal lapisan difusi
Dalam teori disolusi atau perpindahan
massa, diasumsikan bahwa selama proses disolusi berlangsung pada permukaan
padatan terbentuk suatu lapisan difusi air atau lapisan tipis cairan yang
stagnan dengan ketebalan h. Bila konsentrasi zat terlarut di dalam larutan (C)
jauh lebih kecil daripada kelarutan zat tersebut (Cs) sehingga dapat diabaikan,
maka harga (Cs-C) dianggap sama dengan Cs. Jadi, persamaan kecepatan disolusi
dapat disederhanakan menjadi
Faktor yang dapat mempengaruhi
kecepatan disolusi suatu zat, yaitu:
1.
Suhu
Meningginya suhu umumnya memperbesar
kelarutan (Cs) suatu zat yang bersifat endotermik serta memperbesar harga
koefisien difusi zat. Menurut Einstein, koefisien difusi dapat dinyatakan
melalui persamaan berikut (Astuti,2008) :
D =
Keterangan
:
D : koefisien
difusi
r : jari-jari
molekul
k : konstanta
Boltzman
ή : viskosita pelarut
T : suhu
2. Viskositas
Turunnya
viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan disolusi suatu zat sesuai dengan
persamaan Einstein. Meningginya suhu juga menurunkan viskositas dan memperbesar
kecepatan disolusi (Astuti,2008).
3. pH Pelarut
pH pelarut sangat berpengaruh terhadap
kelarutan zat-zat yang bersifat asam atau basa lemah.
Untuk asam lemah
Jika (H+) kecil atau pH
besar maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan demikian, kecepatan disolusi
zat juga meningkat.
Untuk basa lemah
Jika (H+) besar atau pH
kecil maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan demikian, kecepatan disolusi
juga meningkat (Astuti,2008).
4.
Pengadukan
Kecepatan
pengadukan akan mempengaruhi tebal lapisan difusi (h). jika pengadukan
berlangsung cepat, maka tebal lapisan difusi akan cepat berkurang
(Astuti,2008).
5. Ukuran Partikel
Jika
partikel zat berukuran kecil maka luas permukaan efektif menjadi besar sehingga
kecepatan disolusi meningkat (Astuti,2008).
6. Polimorfisme
Kelarutan
suatu zat dipengaruhi pula oleh adanya polimorfisme.Struktur internal zat yang
berlainan dapat memberikan tingkat kelarutan yang berbeda juga. Kristal meta
stabil umumnya lebih mudah larut daripada bentuk stabilnya, sehingga kecepatan
disolusinya besar (Astuti,2008).
7. Sifat Permukaan Zat
Pada
umumnya zat-zat yang digunakan sebagai bahan obat bersifat hidrofob. Dengan
adanya surfaktan di dalam pelarut, tegangan permukaan antar partikel zat dengan
pelarut akan menurun sehingga zat mudah terbasahi dan kecepatan disolusinya
bertambah (Astuti,2008).
Efektivitas dari suatu tablet dalam
melepas obatnya untuk absorpsi sistemik agaknya bergantung pada laju
disintegrasi dari bentuk sediaan dan deagregasi dari granul-granul tersebut.
Tetapi yang biasanya lebih penting adalah laju disolusi dari obat padat
tersebut. Seringkali disolusi merupakan tahapan yang membatasi atau tahap yang
mengontrol laju bioabsorpsi obat-obat yang mempunyai kelarutan rendah, karena
tahapan ini seringkali merupakan tahapan yang paling lambat dari berbagai
tahapan yang ada dalam penglepasan obat dari bentuk sediaannya dan
perjalanannya ke dalam sirkulasi sistemik (Martin,2008).
Untuk memulai setiap analisis ukuran partikel harus
diambil dari umunya jumlah bahan besar (ditandai dengan junlah dasar) suatu
contoh yang Supaya
partikel padat terdisolusi maka molekul solut pertama-tama harus memisahkan
diri dari permukaan padat, kemudian bergerak menjauhi permukaan memasuki
pelarut. Tergantung pada kedua proses ini dan bagaimana cara proses transpor
berlangsung maka perilaku disolusi dapat digambarkan secara fisika. Dari segi
kecepatan disolusi yang terlibat dalam zat murni, ada tiga dasar model fisika
yang umum, yaitu:
a. Model lapisan difusi (diffusion layer
model).
Model ini pertama kali diusulkan oleh
Nerst dan Brunner. Pada permukaan padat terdapat satu lapis tipis cairan dengan
ketebalan ℓ , merupakan komponen kecepatan negatif dengan arah yang berlawanan
dengan permukaan padat. Reaksi pada permukaan padat-cair berlangsung cepat.
Begitu model solut melewati antar muka “liquid film – bulk film”, pencampuran
secara cepat akan terjadi dan gradien konsentrasi akan hilang. Karena itu
kecepatan disolusi ditentukan oleh difusi gerakan Brown dari molekul dalam
liguid film.
b. Model barrier antar muka (interfacial barrier model).
Model ini menggambarkan reaksi yang
terjadi pada permukaan padat dan dalam hal ini terjadi difusi sepanjang lapisan
tipis cairan.Sebagai hasilnya, tidak dianggap adanya kesetimbangan
padatan-larutan, dan hal ini harus dijadikan pegangan dalam membahas model ini.
Proses pada antar muka padat-cair sekarang menjadi pembatas kecepatan ditinjau
dari proses transpor. Transpor yang relatif cepat terjadi secara difusi
melewati lapisan tipis statis (stagnant).
c. Model Dankwert (Dankwert model).
Model ini
beranggapan bahwa transpor solut menjauhi permukaan padat terjadi melalui cara
paket makroskopik pelarut mencapai antar muka padat-cair karena terjadi pusaran
difusi secara acak.
Tahap- tahap disintegrasi deagregasi dan
disolusi ketika obat meningggalkan suati tablet atau matrik granularrepresentatif.
Karenanya suatu pemisahan bahan awal dihindari oleh karena dari suatu
pemisahan, contoh yang diambil berupa bahan halus atau bahan kasar. Untuk
pembagian contoh pada jumlah awal dari 10-1000 g digunakan apa yang disebut
Pembagi Contoh piring berputar. Pada jumlah dasar yang amat besar harus ditarik
beberapa contoh dimana tempat pengambilan contoh sebaiknya dipilih menurut
program acak (Voigt,
1994).
Bila suatu tablet atau sediaan obat
lainnya dimasukan ke dalam beaker glass yang berisi air atau dimasukan ke dalam
saluran cerna (Saluran gastrointestinal), obat tersebut mulai masuk ke dalam
larutan dari bentuk padanya. Kalau tablet tersebut tidak dilapisi polimer, matriks
padat juga mengalami diistegrasi menjadi granul-granul, dan granul-grabuk
mengalami pemecahan menjadi partikel halus. Diintegrasi, deagregrasi dan
disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan melepasnya suatu obat di
tempat obat tersebut diberikan (Martin, 2008).
Pemikiran dilakukannya uji hancurnya
tablet didasarkan pada kenyataan bahwa tablet itu pecah menjadi
partikel-partikel kecil, sehingga daerah permukaan media pelarut menjadi lebih
luas, dan akan berhubungan dengan tersedianya obat di dalam cairan tubuh. Namun
sebenarnya uji hancur hanya menyatakan waktu yang diperlukan tablet untuk
hancur di bawah kondisi yang ditetapkan, dan lewatnya seluruh partikel melalui
saringan berukuran mesh-10. Uji ini tidak memberi jaminan bahwa partikel-partikel itu akan melepaskan
bahan obat dalam larutan dengan kecepatan yang seharusnya. Itu sebabnya uji
disolusi dan ketentuan uji dikembangkan bagi hampir seluruh produk tablet.Laju
absorbsi dari obat-obat bersifat asam yang diabsorbsi dengan mudah dalam saluran
pencernaan sering ditetapkan dengan laju larut obat dari tablet. Bila yang
menjadi tujuan adalah untuk memperoleh kadar yang tinggi dalam darah, maka
cepatnya obat dan tablet melarut biasanya menjadi sangat menentukan. Karena itu
laju larut dapat berhubungan langsung dengan efikasi (kemanjuran) dari tablet
dan perbedaan bioavailabilitas dari berbagai formula (Lachman, 1994).
II.2
Uraian Bahan
1.
Air
suling ( Dirtjen POM, 1979 ; 96 )
Nama resmi : AQUA
DESTILLATA
Nama
lain : Air suling, aquadest
Rumus molekul : H2O
Berat molekul
: 18,02
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidakberbau,tidak mempunyai rasa.
Penyimpanan : Dalam wadah
tertutup baik
Kegunaan : Sebagai
pelarut
2.
Asam Salisilat ( Dirtjen POM, 1979 ; 56 )
Nama resmi : ACIDUM SALICYLICUM
Nama lain : asam salisilat
Rumus molekul :
C7H6O3
Berat molekul :
138,12
Pemerian : hablur ringan tidak berwarna atau serbuk
berwarna putih, rasa agak manis, tajam
Kelarutan
: Larut dalam 550 bagian
air dan dalam 4 bagian etanol (95%) P. Mudah larut dalam
kloroform dan eter.
Berat
setara : 1 ml natrium
hidroksida 0,5 N setara
dengan 69,06 mg C7H6O3
Persyaratan kadar : Mengandung
tidak kurang dari 99,5 % C7H6O3
Penyimpanan :
Dalam wadah tertutup rapat
Kegunaan : sebagai
sampel
3.
Paracetamol
( Dirtjen POM, 1979 ; 37 )
Nama resmi :
ACETAMINOPHENUM
Nama lain :
Paracetamol
Berat molekul : 151,16
Rumus molekul : C8H9NO2
Rumus struktur :
Pemerian : Hablur atau Serbuk hablur putih , tidak berbau, dan rasa pahit
Kelarutan : Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian
etanol (95 %) P, dalam 13 bagian aseton P, dalam 40 bagian gliserol P dan dalam
9 bagian propilenglikol.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat dan
terlindung dari cahaya.
Kegunaan : Sebagai sampel
4.
Polisorbat
80 (Dirtjen POM, 1979:
509)
Nama resmi : Polysorbatum 80
Nama lain : Polisorbat 80, tween
Pemerian : Cairan
kental, transparan, tidak berwarna,hampir tidak mempunyai rasa.
Kelarutan : Mudah
larut dalam air, dalam etanol (95%)P, dalam etil asetat
P dan dalam methanol P,sukar larut dalam parafin cair P dan dalam biji kapas P
Kegunaan : Sebagai surfaktan
5.
Natrium
hidroksida (Dirtjen POM, 1979: 412)
Nama resmi : Natrii
Hidroxydum
Nama lain : Natrium
hidroksida
Rumus molekul : NaOH
Berat molekul : 40,00
Pemerian : Bentuk
batang, butiran, massa hablur atau keping, kering, keras, rapuh dan menunjukan
susunan hablur; putih, mudah meleleh basah, Sangat alkalis dan korosif, Segera
menyerap karbondioksida.
Kelarutan : Sangat
mudah larut dalam air dan etanol (95%) P
Kegunaan : Zat
Tambahan
II.3
ProsedurKerja (Anonim, 2013)
a.
Pengaruh
suhu terhadap kecepatan disolusi zat
·
Isilah
bejana dengan 900 ml
·
Pasang
thermostat padasuhu 300C
·
Jika
suhu air di dalam bejana sudah mencapai suhu 300C, masukkan 2 g asam
salisilat dan hidupkan motor penggerak pada kecepatan 50 rpm
·
Ambil
sebanyak 20 ml air dari bejana setiap selang waktu 1, 5, 10, 15, 20, 25 dan 30
menit setelah pengadukan. Setiap selesai pengambilan sampel, segera digantikan
dengan 20 ml air.
·
Tentukan
kadar asam salisilat terlarut dari setiap sampe dengan cara titrasi asam-basa
menggunakan NaOH 0,05 N dan indocato rfenolftalein. Lakukan koreksi perhitungan
kadar yang diperoleh setiap waktu terhadap pengenceran yang dilakukan karena
penggantian larutan dengan air suling.
·
Lakukan
percobaan yang sama untuk suhu 400C
dan suhu 50 0 C.
·
Tabelkan
hasil yang diperoleh
·
Buat
kurva antara konsentrasi asam salisilat yang diperoleh dengan waktu untuk
setiap satuan waktu (dalamsatugrafik)
b.
Pengaruh
kecepatan pengadukan terhadap kecepatan disolusi zat
·
Isilah
bejanadengan 900 ml
·
Pasang
thermostat padasuhu 300C
·
Jikasuhu
air di dalam bejana sudah mencapai suhu 300C, masukkan 2 gram asam
salisilat dan hidupkan motor penggerak pada kecepatan 50 rpm.
·
Ambil
sebanyak 20 ml air dari bejana setiap selang waktu 1, 5, 10, 15, 20, 25, dan 30
menit setelah pengadukan. Setiap selesai pengambilan sampel, segera gantikan
dengan 20 ml air.
·
Tentukan
kadar asam salisilat terlarut dari setiap sampel dengan cara titrasi asam-basa
menggunakan NaOH 0,05 N dan indicator fenolftalein. Lakukan koreksi perhitungan
kadar yang diperoleh setiap waktu terhadap pengenceran yang dilakukan karena
penggantian larutan dengan air suling.
·
Lakukan
percobaan yang sama untuk kecepatan 100 dan 150 rpm.
·
Tabelkan
hasil yang diperoleh.
·
Buat
kurva antara konsentrasi asam salisilat yang diperoleh dengan waktu untuk
setiap satuan waktu (dalam satu grafik).
c.
Penentuan
parameter disolusi tablet parasetamol (prosedur lengkap lihat farmakope
indonesia IV)
BAB
III
METODE
KERJA
III.1
Alat dan Bahan
Alat
Adapun
alat yang digunakan yaitu alat uji disolusi, gelas kimia 20 ml, 50 ml, dan 250
ml, labu takar 10 ml dan 25 ml, spektrofotmetri (metode dayung), vial.
Bahan
Adapun
bahan yang digunakan yaitu air steril, aluminium foil, aquadest, etiket,
kuvetdisposible, serbuk paracetamol 10 mg, tablet paracetamol 500 mg, tissu.
III.2 Langkah kerja
a.
Pembuatan
kurva baku
1.
Disiapkan
alat dan bahan
2.
Ditimbang
serbuk paracetamol 10 mg
3.
Dilarutkan
dalam 250 ml air steril
4.
Dipipet
5 ml lalu dimasukkan kekuvet dan diukur menggunakan spektrofotometri pada ppm
2, 4, 6, 8, dan 10
5.
Dicatat
absorbannya dan dibuat dalam tabel
b.
Pengukuran
absorban paracetamol
1.
Disiapkan
alat dan bahan
2.
Disiapkan
alat uji disolusi dan dimasukkan 900 ml air steril pada medium dan diuji dengan
metode dayung
3.
Dimasukkan
tablet paracetamol kedalam medium
4.
Dilakukan
pengadukan dengan kecepatan 50 rpm, tiap 5 menit dipipet 5 ml absorban
menggunakan spoit 5 ml. Bersamaan dengan diambil 5 ml dimasukkanl agi 5 ml air
steril ke dalam medium hingga menit ke 30
5.
Dipindahkan
absorban kedalam masing-masing vial dan ditutup dengan aluminium foil
6.
Diukur
nilai absorban paracetamol menggunakan spektrofotometri
7.
Dicatat
hasilnya dan dibuat dalam tabel
BAB
IV
HASIL
PENGAMATAN
IV.1 Tabel Hasil Pengamatan
Kurva Baku
|
|
ppm
|
Absorban
|
2
|
0.018
|
4
|
0.032
|
6
|
0.039
|
8
|
0.043
|
10
|
0.047
|
a.
Tabel
pembuatan Kurva baku
b.
Tabel
disolusi paracetamol 500 mg
Waktu
|
Beratobat
|
Beratobat
|
Beratobat
|
Bobotobat
|
%kadarobat
|
%kadarobat
|
(menit)
|
(mg)
|
(mg)
|
(mg)
|
rata"
|
900 ml
|
900 ml
|
0
|
500
|
500
|
500
|
500
|
55.55555556
|
55.55555556
|
5
|
500
|
500
|
500
|
500
|
55.55555556
|
55.55555556
|
10
|
500
|
500
|
500
|
500
|
55.55555556
|
55.55555556
|
15
|
500
|
500
|
500
|
500
|
55.55555556
|
55.55555556
|
20
|
500
|
500
|
500
|
500
|
55.55555556
|
55.55555556
|
25
|
500
|
500
|
500
|
500
|
55.55555556
|
55.55555556
|
30
|
500
|
500
|
500
|
500
|
55.55555556
|
55.55555556
|
%kadarobat
|
Kadar
|
Absorban
|
Absorban
|
Absorban
|
Absorban
|
a
|
900 ml
|
Rata"
|
(y)
|
(y)
|
(y)
|
Rata"
|
|
1
|
2
|
3
|
||||
55.55555556
|
55.55555556
|
0.022
|
0.024
|
0.023
|
0.023
|
0.0151
|
55.55555556
|
55.55555556
|
0.024
|
0.024
|
0.028
|
0.02533333
|
0.0151
|
55.55555556
|
55.55555556
|
0.027
|
0.027
|
0.031
|
0.02833333
|
0.0151
|
55.55555556
|
55.55555556
|
0.032
|
0.034
|
0.034
|
0.03333333
|
0.0151
|
55.55555556
|
55.55555556
|
0.037
|
0.039
|
0.032
|
0.036
|
0.0151
|
55.55555556
|
55.55555556
|
0.039
|
0.033
|
0.033
|
0.035
|
0.0151
|
55.55555556
|
55.55555556
|
0.037
|
0.034
|
0.029
|
0.03333333
|
0.0151
|
B
|
Obatdalam
|
Obatdalam
|
Obatdalam
|
Rata"
|
Obatdalam
|
Obatdalam
|
5ml (ppm)
|
5ml (ppm)
|
5ml (ppm)
|
ppm
|
5 ml (mg)
|
5 ml (mg)
|
|
(x1)
|
(x1)
|
(x1)
|
(x2)
|
(x2)
|
||
0.00345
|
2
|
2.57971014
|
2.28985507
|
2.28985507
|
0.01
|
0.01289855
|
0.00345
|
2.57971014
|
2.57971014
|
3.73913043
|
2.96618357
|
0.01289855
|
0.01289855
|
0.00345
|
3.44927536
|
3.44927536
|
4.60869565
|
3.83574879
|
0.01724638
|
0.01724638
|
0.00345
|
4.89855072
|
5.47826087
|
5.47826087
|
5.28502415
|
0.02449275
|
0.0273913
|
0.00345
|
6.34782609
|
6.92753623
|
4.89855072
|
6.05797101
|
0.03173913
|
0.03463768
|
0.00345
|
6.92753623
|
5.1884058
|
5.1884058
|
5.76811594
|
0.03463768
|
0.02594203
|
0.00345
|
6.34782609
|
5.47826087
|
4.02898551
|
5.28502415
|
0.03173913
|
0.0273913
|
Obatdalam
|
Rata"
|
%obat yang
|
%obat yang
|
%obat yang
|
Rata"
|
Faktor
|
5 ml (mg)
|
(ppm)
|
terdisolusi
|
terdisolusi
|
terdisolusi
|
Koreksi
|
|
(x2)
|
||||||
0.01144928
|
0.01144928
|
0.2
|
0.257971014
|
0.228985507
|
0.228985507
|
0
|
0.01869565
|
0.01483092
|
0.257971014
|
0.257971014
|
0.373913043
|
0.296618357
|
0.00111111
|
0.02304348
|
0.01917874
|
0.344927536
|
0.344927536
|
0.460869565
|
0.383574879
|
0.00254428
|
0.0273913
|
0.02642512
|
0.489855072
|
0.547826087
|
0.547826087
|
0.528502415
|
0.00446055
|
0.02449275
|
0.03028986
|
0.634782609
|
0.692753623
|
0.489855072
|
0.605797101
|
0.00718196
|
0.02594203
|
0.02884058
|
0.692753623
|
0.51884058
|
0.51884058
|
0.576811594
|
0.01070853
|
0.02014493
|
0.02642512
|
0.634782609
|
0.547826087
|
0.402898551
|
0.528502415
|
0.01455717
|
Faktor
|
Faktor
|
Rata"
|
%kadar
|
%kadar
|
%kadar
|
Rata"
|
Koreksi
|
Koreksi
|
terkoreksi
|
terkoreksi
|
terkoreksi
|
||
0
|
0
|
0
|
0.2
|
0.25797101
|
0.22898551
|
0.22898551
|
0.00143317
|
0.00127214
|
0.00127214
|
0.25908213
|
0.25940419
|
0.37518519
|
0.2978905
|
0.00286634
|
0.00334944
|
0.00292002
|
0.34747182
|
0.34779388
|
0.464219
|
0.3864949
|
0.00478261
|
0.00590982
|
0.00505099
|
0.49431562
|
0.5526087
|
0.55373591
|
0.53355341
|
0.00782609
|
0.0089533
|
0.00798712
|
0.64196457
|
0.70057971
|
0.49880837
|
0.61378422
|
0.01167472
|
0.01167472
|
0.01135266
|
0.70346216
|
0.5305153
|
0.5305153
|
0.58816425
|
0.01455717
|
0.01455717
|
0.01455717
|
0.64933977
|
0.56238325
|
0.41745572
|
0.54305958
|
%disolusi
|
%disolusi
|
%disolusi
|
Disolusi
|
obat
|
obat
|
Obat
|
Rata"
|
0.36
|
0.46434783
|
0.41217391
|
0.41217391
|
0.46634783
|
0.46692754
|
0.67533333
|
0.5362029
|
0.62544928
|
0.62602899
|
0.8355942
|
0.69569082
|
0.88976812
|
0.99469565
|
0.99672464
|
0.96039614
|
1.15553623
|
1.26104348
|
0.89785507
|
1.10481159
|
1.26623188
|
0.95492754
|
0.95492754
|
1.05869565
|
1.16881159
|
1.01228986
|
0.75142029
|
0.97750725
|
Perhitungan
a.
Pembuatan
Kurva baku
ppm =
untuk, 1 ppm =
2 ppm =
4 ppm =
6 ppm =
8 ppm =
10 ppm =
E Jadi, untuk penentuan absorban kurva baku
untuk 1 ppm dipipet 0,1 ml, 2 ppm 0,2 ml, 4 ppm 0,4 ml, 6 ppm 0,6 ml, 8 ppm 0,8
ml, dan 10 ppm dipipet 1ml.
b.
Kecepatan
disolusi paracetamol
1.
%
paracetamol dalam 900 ml
=
=
%
=
55,56 %
2.
Obat
dalam 5 ml (ppm)
Untuk
0 menit :
=
= 2
Untuk 5 menit :
=
= 2,5797
Untuk 10 menit :
=
= 3,4492
Untuk 15 menit :
=
= 4,8985
Untuk 20 menit :
=
= 6,3478
Untuk 25 menit :
=
= 6,9275
Untuk 30 menit :
=
= 6,3478
3.
Obatdalam
5 ml (mg)
Untuk
0 menit :
=
x 5 = 0,01mg
Untuk 5 menit :
=
x 5 = 0,0128 mg
Untuk 10 menit :
=
x 5 = 0,0172 mg
Untuk
15 menit :
=
x 5 = 0,0244 mg
Untuk 20 menit :
=
x 5 = 0,0317 mg
Untuk 25 menit :
=
x 5 = 0,0346 mg
Untuk 30 menit :
=
x 5 = 0,0317 mg
4.
%obat
yang terdisolusi
Untuk
0 menit :
=
x 100
= 0,2 mg
Untuk
5 menit :
=
x100
= 0,256 mg
Untuk
10 menit :
=
x
100 = 0,344mg
Untuk 15 menit :
=
x 100
= 0,488 mg
Untuk
20 menit :
=
x 100
= 0,634 mg
Untuk
25 menit :
=
x 100 = 0,692 mg
Untuk
30 menit :
=
x 100 = 0,634 mg
5.
Faktorkoreksi
Untuk
0 menit :
=
Untuk
5 menit :
=
Untuk
10 menit :
=
Untuk 15 menit :
=
Untuk
20 menit :
=
Untuk
25 menit :
=
Untuk
30 menit :
=
6.
%
Kadar terdisolusi
Untuk
0 menit :
=
= 0,2 %
Untuk
5 menit :
=
= 0,259 %
Untuk
10 menit :
=
= 0,3474 %
Untuk 15 menit :
=
= 0,4942 %
Untuk
20 menit :
=
= 0,6418%
Untuk
25 menit :
=
= 0,7034 %
Untuk
30 menit :
=
= 0,6418 %
7.
%
disolusiobat
Untuk
0 menit :
=
x 100 = 0,36 %
Untuk
5 menit :
=
x 100 = 0,466 %
Untuk
10 menit :
=
x 100 = 0,6252 %
Untuk
15 menit :
=
x 100 = 0,8896 %
Untuk
20 menit :
=
x 100 = 1,1553 %
Untuk
25 menit :
=
x 100 = 1,266 %
Untuk 30 menit :
=
x 100 = 1,1686 %
c.
Koefisien
laju Disolusi paracetamol
K = b x 2,303
= 0,00345 x 2,303
= 7,9 x 10-3 mg/menit
IV.3 Pembahasan
Disolusi
obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut.
Pelarutan suatu zat aktif sangat penting artinya karena ketersediaan suatu obat
sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke
dalam tubuh.
Suatu
bahan obat yang diberikan dengan cara apapun dia harus memiliki daya larut
dalam air untuk kemanjuran terapeutiknya. Senyawa-senyawa yang relatif tidak
dapat dilarutkan mungkin memperlihatkan absorpsi yang tidak sempurna, atau
tidak menentu sehingga menghasilkan respon terapeutik yang minimum. Daya larut
yang ditingkatkan dari senyawa-senyawa ini mungkin dicapai dengan menyiapkan
lebih banyak turunan yang larut, seperti garam dan ester dengan teknik seperti
mikronisasi obat atau kompleksasi.
Sifat-sifat
kimia, fisika, bentuk obat dan juga fisiologis dari sistem biologis
mempengaruhi kecepatan absorbsi suatu obat dalm tubuh.Oleh karena itu
konsentrasi obat, bagaimana kelarutannya dalam air, ukuran molekulnya, pKa dan
ikatan proteinnya adalah faktor-faktor kimia dan fisika yang harus dipahami
untuk mendesain suatu sediaan.Hal ini meliputi faktor difusi dan disolusi obat.
Pada saat suatu sediaan obat masuk ke
dalam tubuh, selanjutnya terjadi proses absorbsi ke dalam sirkulasi darah dan
akan didistribusikan ke seluruh cairan dan jaringan tubuh. Apabila zat aktif
pada sediaan obat tersebut memiliki pelarut yang cepat, berarti efek yang
ditimbulkan juga akan semakin cepat, begitu juga sebaliknya.
Adapun aplikasi dalam bidang farmasi yaitu seorang farmasis akan dapat mengetahui efek yang
akan ditimbulkan pada obat tersebut. Sehingga penggunaan optimal obat dapat
tercapai. Preformulasi yang bik tentunya harus mengetahui sediaan yang baik dan
benar, dengan mengetahui laju disolusi suatu obat kita dapat mengontrol waktu
disolusi suatu obat sehingga dapat tercipta suatu sediaan yang bermutu.
Pada praktikum
kali ini ditentukan tetapan disolusi dari tablet paracetamol 500 mg dalam media
air suling, dimana besarnya tetapan tersebut menunjukkan cepat lambatnya
disolusi atau kelarutan dari tablet paracetamol tersebut. Di sini digunakan air
suling sebagai media disolusi karena air merupakan cairan penyususn utama dalam tubuh manusia, jadi diumpamakan obat
berdisolusi di dalam tubuh. Selain itu juga karena paracetamol kelarutannya
dalam air sangat baik. Dilakukan pemanasan yang dipertahankan pada suhu 37°C,
disesuaikan dengan suhu fisiologi tubuh manusia yaitu 37°C-38°C.
Saat
larutan diambil, pada bagian yang sama dari cairan, yaitu tepat di samping
keranjang sampel, sebab pada bagian tersebut zat aktif langsung keluar dari
keranjang dan dapat dipipet dengan tepat. Pemipetan yang dilakukan pada tempat
yang berbeda dapat mengakibatkan perbedaan kadar zat aktif yang sangat besar.
Dilakukan tiga kali agar hasil yang diperoleh dapat dibandingkan.
Pada
waktu yang berbeda-beda dilakukan pemipetan untuk melihat kapan paracetamol
akan terdisolusi dengan optimal pada media pelarut. Dari hasil yang diperoleh,
dapat dijelaskan bahwa mula-mula paracetamol akan terdisolusi dengan lambat dan
lama kelamaan akan bertambah cepat. Setelah terdisolusi sempurna zat aktif akan
diabsorbsi, dimetabolisme, dan kemudian akan memberikan efek terapi jika obat
berada dalam tubuh.
Hasil
yang diperoleh pada percobaan untuk data kurva baku pada 2 Rpm absorbannya
0,018, 4 Rpm absorbannya 0,032, 6 Rpm absorbannya 0,039, 8 Rpm absorbannya
0,043 dan untuk 10 Rpm absorbannya 0,047. Konstanta laju disolusi paracetamol
yaitu 7,9 x 10-3 mg/menit. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin
banyak waktu yang dibutuhkan oleh suatu obat untuk berdisolusi maka semakin
tinggi pula konsentrasi (Kadar) zat tersebut dalam cairan (media pelarut).
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan pada praktikum kali ini yaitu :
1. Disolusi obat adalah
suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke dalam media
pelarut. Disolusi didefinisikan sebagai suatu proses melarutnya zat kimia atau
seyawa obat dari sediaan padat kedalam suatu medium tertentu.
2.Untuk hasil praktikum kali ini
diperoleh nilai k = 7,9 x
10-3 mg/menit.
V.2 Saran
Sebaiknya praktikan lebih teliti dalam melakukan
percobaan guna mengurangi kesalahan yang terjadi.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim.2013.Penuntun Praktikum Farmasi Fisika.Makassar : Universitas Muslim Indonesia.
Ansel,HC. 1985. Pengantar
Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta : UI Press.
Dirjen,POM. Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta : DepKes RI.
Dirjen, POM. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta : DepKes RI
Lachman,L dkk.
1986. Teori Praktek dan Farmasi Industri. Jarkata : UI Press.
Martin, A.1990.Farmasi Fisika.Buku II. Jakarta : UI
Press.
Moechtar.1990. Farmasi Fisika. Yogyakarta: UGM Press.
Voigt, R.1994. Buku
Pelajaran teknologi Farmasi.Edisi V. Cetakan I. Yogyakarta: UGM Press.
Wiroatmojo.1988. Kimia Fisika . Jakarta: Depdikbut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar